Istilah
Secara istilah, gerhana matahari dan bulan disebut dengan
istilah kusuf (كسوف) atau khusuf (حسوف). Kedua kata tersebut merupakan sinonim yang berarti perubahan pada keduanya dan berkurangnya cahaya padanya. Secara sederhana kita mengartikannay dengan istilah: Gerhana.
Ada pula yang mengatakan bahwa istilah kusuf untuk matahari sehingga disebut ‘kusuf asy-syams’ (gerhana matahari) sedangkan khusuf untuk bulan, sehingga dikatakan ‘khusuf al-qamar’ (gerhana bulan).
Hikmah Dibalik Peristiwa Gerhana
Banyak cerita khurafat dan tahayyul beredar di masyarakat seputar terjadinya gerhana. Namun syariat telah menyatakan dengan tegas nilai-nilai yang terkandung dibalik terjadinya peristiwa tersebut. Di antaranya adalah:
1- Menunjukkan salah satu keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala yang Maha mengatur alam ini.
2- Untuk menimbulkan rasa gentar di hati setiap hamba atas kebesaran Allah Ta’ala dan azab-Nya bagi siapa yang tidak taat kepada-Nya.
Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَصَلُّوا (رواه البخاري)
“Sesungguhnya matahari dan bulan tidak gerhana karena kematian seseorang atau karena kehidupannya. Akan tetapi keduanya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian menyaksikannya, maka hendaklah kalian shalat.” (HR. Bukhari)
Dalam redaksi yang lain, Bukhari juga meriwayatkan,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ
“Sesungguhnya matahari dan bulan keduanya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidak gerhana karena kematian seseorang atau karena kehidupannya.. Akan tetapi Allah hendak membuat gentar para hamba-Nya.” (HR. Bukhari)
Disamping hal ini juga mengingatkan seseorang dengan kejadian hari kiamat yang salah satu bentuknya adalah terjadinya gerhana dan menyatunya matahari dengan bulan, seperti Allah nyatakan dalam surat Al-Qiyamah: 8-9.
وَخَسَفَ الْقَمَرُ . وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ (سورة القيامة)
“Dan apabila bulan telah hilang cahayanya. Dan Matahari dan bulan dikumpulkan.” (QS. Al-Qiyamah: 8-9)
Shalat Gerhana
Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan shalat apabila mereka menyaksikan peristiwa gerhana, baik matahari maupun bulan, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits di atas, juga sebagaimana riwayat adanya perbuatan Rasulullah saw tentang hal tsb.
Para ulama menyimpulkan bahwa hukum shalat gerhana adalah sunah. Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa sunahnya shalat gerhana merupakan ijma ulama (Lihat: Syarah Muslim, 6/451). Ibnu Qudamah dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa shalat gerhana merupakan sunnah mu’akkadah/sunah yang sangat ditekankan (Al-Mughni, 3/330, Fathul Bari, 2/527). Sebagian ulama bahkan menyatakan kewajiban shalat gerhana, karena Rasulullah saw melaksanakannya dan memerintahkannya. Ibnu Qayim menyatakan bahwa pendapat ini (wajibnya shalat gerhana) merupakan pendapat yang kuat. (Kitab Ash-Shalah, Ibnu Qayim, hal. 15).
Di sisi lain, karena jarang kaum muslimin yang mengenal dan melaksanakan shalat gerhana, maka dengan melakukannya maka dia akan mendapatkan keutamaan orang yang menghidupan sunah.
Adab Shalat Gerhana
1. Menghadirkan rasa takut kepada Allah saat terjadinya gerhana bulan dan matahari. Baik karena peristiwa tersebut mengingatkan kita akan tanda-tanda kejadian hari kiamat, atau karena takut azab Allah diturunkan akibat dosa-dosa yang dilakukan.
2. Mengingat apa yang pernah disaksikan Nabi saw dalam shalat Kusuf. Diriwayatkan bahwa dalam shalat kusuf, Rasulullah saw diperlihatkan oleh Allah surga dan neraka. Bahkan beliau ingin mengambil setangkai dahan dari surga untuk diperlihatkan kepada mereka. Beliau juga diperlihatkan berbagai bentuk azab yang ditimpakan kepada ahli neraka. Karena itu, dalam salah satu khutbahnya selesai shalat gerhana, beliau bersabda,
يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا (متفق عليه)
“Wahai umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (Muttafa alaih)
3. Menyeru dengan panggilan “Asshalaatu Jaami’ah” . Maksunya adalah panggilan untuk melakukan shalat secara berjamaah. Aisyah meriwayatkan bahwa saat terjadi gerhana, Rasulullah saw memerintahkan untuk menyerukan “Ashshalaatu Jaami’ah” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
Tidak ada azan dan iqamah bagi shalat gerhana. Karena azan dan iqamah hanya berlaku pada shalat fardhu yang lima.
4. Disunahkan mengeraskan bacaan surat, baik shalatnya dilakukan pada siang atau malam hari. Hal tersebut dilakukan Rasulullah saw dalam shalat gerhana (Muttafaq alaih).
5. Shalat gerhana sunah dilakukan di masjid secara berjamaah. Rasulullah saw selalu melaksanakannya di masjid sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat. Akan tetapi boleh juga dilakukan seorang diri. (Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/323)
6. Wanita boleh ikut shalat berjamaah di belakang barisan laki-laki. Diriwayatkan bahwa Aisyah dan Asma ikut shalat gerhana bersama Rasulullah saw. (HR. Bukhari).
7. Disunahkan memanjangkan bacaan surat. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw dalam shalat gerhana memanjangkan bacaannya. (Muttafaq alaih). Namun hendaknya tetap mempertimbangkan kemampuan dan kondisi jamaah.
8. Disunahkan menyampaikan khutbah setelah selesai shalat, berdasarkan perbuatan Nabi saw bahwa beliau setelah selesai shalat naik ke mimbar dan menyampaikan khutbah (HR. Nasa’i). Sejumlah ulama menguatkan bahwa khutbah yang disampaikan hanya sekali saja, tidak dua kali seperti shalat Jumat. Sebagian ulama menganggap tidak ada sunah khutbah selesai shalat. Akan tetapi petunjuk hadits lebih menguatkan disunahkannya khutbah setelah shalat gerhana. Wallahua’lam.
9. Dianjurkan memperbanyak istighfar, berzikir dan berdoa, bertakbir, memedekakan budak, shalat serta berlindung kepada Allah dari azab neraka dan azab kubur.
Tata Cara Shalat Gerhana
Pelaksanaan shalat gerhana agak berbeda dari shalat pada umumnya. Banyak yang tidak mengetahuinya karena jarang dilaksanakan dan tidak memiliki waktu yang tetap.
Shalat diawali seperti biasa dengan bertakbiratul ihram, lalu membaca doa istiftah, kemudian membaca ta’awwuz (a’uzubillahiminsyaitanirrajim), lalu membaca basmalah, kemudian membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu, membaca surat yang panjang dengan mengeraskan suara.
Selesai membaca surat, melakukan ruku dengan panjang dan mengulang-ulang bacaan ruku. Selesai ruku bangkit dengan membaca Sami’allahu liman hamidah, kemudian membaca ‘Rabbanaa walakal hamdu.
Setelah itu tidak sujud seperti shalat lainnya, melainkan membaca surat Al-Fatihah lagi, lalu membaca surat lagi yang berbeda dari sebelumnya. Kemudian ruku kembali dengan lama. Selesai ruku, bangkit kembali dengan membaca Sami’allahu liman hamidah, rabbanaa walakal hamdu. Selesai I’tidal, bertakbir untuk sujud. Lalu sujud dengan lama selama rukunya. Lalu dia bertakbir bangun dari sujud dan duduk di antara dua sujud dengan lama selama dia melakukan sujud, kemudian bertakbir lagi untuk sujud dengan lama.
Setelah itu bertakbir untuk bangkit dari sujud dan berdiri untuk rakaat kedua dan melakukan hal yang sama seperti pada rakaat pertama (dua kali membaca Al-Fatihah dan surat, dua kali ruku serta dua kali sujud).
Setelah itu melakukan tasyahhud dan bersalawat kepada Nabi saw. Kemudian menyudahi shalat dengan salam.
Kesimpulannya, shalat gerhana dalam satu rakaat, ada dua kali berdiri, dua kali membaca Al-Fatihah dan surat, dua kali ruku dan dua kali sujud.
Cara ini dijelaskan dalam hadits Aisyah radhiallahu anha ketika menjelaskan cara shalat gerhana yang dilakukan Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih). Dan cara inilah yang paling kuat dari perbedaan pendapat para ulama tentang hal tsb. Wallahua’lam.
Waktu Shalat Gerhana
Waktu shalat gerhana berlaku ketika proses gerhana mulai terjadi hingga gerhana selesai. Jika ketika shalat gerhananya selesai, maka lanjutkan shalat dengan mempercepat shalatnya. Jika selesai shalat gerhana, proses gerhana masih berlangsung, tidak perlu melanjutkan shalat lagi, cukup membaca doa dan istigfhar yang banyak. Jika tidak sempat shalat saat terjadi gerhana, maka tidak disunahkan melakukan qada atasnya.
Wallahu ta’ala A’lam bishshawab…
Sumber: Shalatul Mu’min, DR. Said bin Ali Al-Qahthani, hafizahullah
1 comments:
dasar hukumnya shalat gerhana matahari apa?
ReplyPost a Comment